Tanah Beru Surga Pembuat Kapal Phinisi



Tanah Beru adalah kelurahan di kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Indonesia. Kelurahan ini terletak di Tanjung Bira 



Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari 3 kota dan 21 kabupaten. Provinsi Sulawesi Selatan berbatasan di bahagian Utara dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat, lalu di sebelah Timur dengan Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara , dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores serta Selat Makassar di sebelah Barat.

Dengan luas wilayah sekitar 45.764,53 km², Provinsi Sulawesi Selatan memiliki begitu banyak potensi daerah, baik dalam wujud fisik ataupun non fisik, seperti sumber daya alam, sumber daya hutan serta sumber daya social dan sebagainya. Dari sekian banyak potensi daerah yang ada, kali ini saya ingin berbagi dengan sahabat-sahibit blogger se-dunia, tentang salah satu potensi daerahyang ada di Provinsi Sulawesi Selatan yang sepertinya kurang mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia, namun sangat terkenal di manca negara.
Adapun potensi yang saya maksud itu bisa kita temukan di Kabupaten Bulukumba, yang jaraknya kurang lebih 153 kilometer dari Kota Makassar. Tepatnya di kelurahan Tana Beru, kecamatan Bonto Bahari. Kelurahan Tanah Beru ini telah dinyatakan sebagai Kawasan Industri Kapal Rakyat oleh pemerintah. Di sini kalian bisa melihat aktifitas hampir sebagian besar penduduknya bergiat dalam usaha membuat kapal/perahu dengan bahan dari kayu, yang kemudian perahu dan kapalnya terkenal dengan sebutan Kapal Phinisi atau Perahu Phinisi.

Hasil gambar untuk tanah beru

Kapal Phinisi atau Perahu Phinisi, adalah kapal/perahu asli khas Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan. Umumnya kapal/perahu ini memiliki dua tiang layar utama serta tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, serta dua di belakang. Sejarah mencatat kapal/perahu phinisi ini telah berlayar menjelajah hingga ke Burma, Malaka, Vietnam dan Australia. Kapal/perahu Phinisi juga telah menjelajahi semua kepulauan Nusantara dan saat ini sahabat-sahibit blogger sedunia bisa melihat kapal/perahu phinisi bersandar di pelabuhan Sunda Kelapa – Jakarta, Labuhan Bajo – Flores, Dermaga Ujung – Surabaya, di dermaga bongkar muat kayu – Kalimantan, serta di Pelabuhan Paotere – Makassar.
Kabupaten Bulukumba memang terkenal sebagai Kabupaten Pembuat Perahu/Kapal Phinisi, tak heran bila kabupaten ini mendapat julukan sebagai “Butta Panrita Lopi”. Jarak dari ibukota Bulukumba ke Tana Beru, sekitar 23 kilometer. Kawasan Industri Kapal Rakyat ini bisa dicapai setelah menempuh perjalanan sekitaran empat jam dari Kota Makassar. Saat memasuki kawasan Tana Beru, akan terlihat beraneka perahu dan kapal dengan berbagai ukuran, baik yang sudah selesai ataupun yang sementara dalam pengerjaan, berjejer memenuhi hampir seluruh pesisir pantai Tana Beru.Kayu-kayu bahan pembuatan kapal/perahu terlihat menumpuk di sekitar pembuatan kapal/perahu tersebut. Material kayu yang digunakan sebagai bahan pembuat kapal/perahu phinisi biasanya adalah kayu Bitti, kayu Katonde, kayu Besi dan kayu Welengreng. Semua jenis kayu-kayu tersebut terkenal sangat kuat serta tahan air. Sebagian dari kayu-kayu itu didatangkan dari Sulawesi Tenggara.Hasil gambar untuk tanah beruHasil gambar untuk tanah beru Potensi yang ada di Kawasan Industri Kapal Rakyat, Tana Beru ini sebenarnya sangatlah lengkap, hampir semua unsur ada di dalamnya, baik itu berupa potensi sumber daya alam, sumber daya buatan, sumber daya sosial, seni budaya dan pariwisata. Namun sungguh sayang, karena berbagai potensi yang ada tidak dieksploitasi secara maksimal oleh pemerintah, terlebih lagi oleh pemerintah daerah setempat. Secara kasat mata terlihat kawasan ini seolah-olah tidak dimaksudkan untuk menjadi salah satu ikon wisata Sulawesi Selatan pada umumnya dan Kabupaten Bulukumba secara khusus.

Mulai dari pintu gerbang yang sudah tidak terawat, hingga masuk ke dalam lokasi kawasan melalui jalan kecil yang hanya bisa dilalui oleh sebuah mobil, jadi kalau berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan, salah satu harus mengalah, keluar dari jalan. Dukungan infrastruktur yang memadai memang belum terlihat di Tana Beru ini, padahal kawasan ini memiliki keindahan alam pantai yang luarbiasa, pasir yang putih, lautan yang biru dan penduduk yang ramah serta tentunya pembuatan kapal/perahu phinisi dengan peralatan tradisionil menjadi salah satu aktraksi wisata yang memikat mata para turis lokal maupun manca negara.
Di Tana Beru, kalian bisa memesan kapal atau perahu ukuran apa saja, mulai dari perahu kecil dengan kapasitas muat 1-4 orang, hingga kapal penumpang atau kapal kargo dengan bobot sekitar 200 ton. Tentunya harganya juga bervariasi, tergantung berapa lama dibuat dan berapa kapasitas bobot kapal/perahunya. Pembuatan sebuah perahu/kapal bisa memakan waktu dari bulanan hingga tahunan. Semakin besar bobotnya, maka pembuatannya juga akan semakin lama, dan harganya juga akan semakin mahal. Untuk kapal dengan bobot sekitar 200 ton, harganya bisa mencapai 4 hingga 5 milyar lebih.
Konon kabarnya, tradisi pembuatan perahu di Tana Beru- Bulukumba ini sudah ada sejak abad ke 19, namun menurut literature kuno dalam buku “I La Galigo”, tradisi pembuatan kapal atau perahu phinisi sudah ada sejak abad ke 14. Adapun pengetahuan tentang teknik pembuatan Kapal/Perahu Phinisi tidak diperoleh dari pendidikan umum, namun pengetahuan itu diturunkan dari generasi ke generasi. Gambar rancangan atau catatan tertulis dalam kertas untuk membuat kapal Pinisi tidak berlaku untuk pembuatan kapal/perahu phinisi, semua detail gambar dan rancangan Pinisi hanya mengandalkan apa yang ada dalam kepala masyarakat Tana Beru yang berprofesi sebagai pembuat kapal/perahu phinisi.
Dan bagi masyarakat Tana Beru ada prosesi adat yang harus dilalui sebelum pembuatan sebuah Kapal atau Perahu Phinisi dilakukan. Mereka menyebut prosesi adat itu dengan sebutan “Ruling”, yakni tata cara adat istiadat untuk membuat sebuah perahu atau kapal phinisi, sudah termasuk di dalamnya diatur mengenai pencarian dan penebangan pohon untuk bahan pembuatan kapal/perahu, lalu mengenai pemotongan dan pengeringan kayu, kemudian perakitan, pemasangan tiang kapal serta peluncuran kapal/perahu phinisi.
Dari prosesi Ruling inilah bisa kita ketahui, bahwa masyarakat Tana Beru sudah sejak dahulu selalu berusaha menjaga kelestarian alam beserta segala isinya, karena mereka mempunyai aturan tersendiri, yang tidak memperbolehkan menebang sembarangan pohon untuk membuat sebuah perahu. Pohon yang bakalan ditebang, haruslah pohon yang benar-benar sudah tua dan layak untuk dijadikan sebuah kapal/perahu.
Prosesi Ruling ini lahir karena masyarakat Tana Beru, terutama yang berprofesi sebagai pembuat perahu, menganggap dirinya beserta komunitasnya sebagai bahagian dari jagad raya, ibaratnya mereka adalah mikrokosmos dan jagad raya adalah makrokosmos. Di mana hubungan kedua kosmos ini diatur oleh peraturan abadi yang sakral, dan dilembagakan oleh para leluhur mereka sebagai adat istiadat yang wajib dijaga keutuhannya.
Pembuatan kapal/perahu phinisi adalah kombinasi dari pengetahuan dan pengalaman tradisional warisan leluhur yang harus diikuti untuk memastikan keamanan di laut. Masyarakat Tana Beru yang berprofesi sebagai pengrajin perahu/kapal harus melakukan penghitungan hari baik untuk memulai pencarian kayu sebagai bahan baku. Hitungan itu biasa jatuh di hari ke lima atau ke tujuh pada bulan yang berjalan. Angka lima atau naparilimai dalle'na yang bermakna rezeki sudah di tangan, dan angka tujuh atau natujuangngi dalle'na memiliki makna selalu dapat rezeki.
Adapun prosesi ritual Ruling dipimpin oleh tokoh adat yang juga ahli membuat kapal/perahu yanh disebut “Pandita Lopi”. Sedangkan untuk pelaksana teknis dan fisik pembuatannya dipimpin oleh Kepala Tukang yang biasa disebut “Punggawa” , dibantu oleh tukang atau disebut “Sawi” serta calon “Sawi”. Punggawa dan Sawi inilah yang bekerja menyelesaikan sebuah kapal/perahu phinisi dengan berbagai macam ukuran dan tonase. Tidak seperti pembuatan kapal pada umumnya, dimana rangka kapal dibuat terlebih dahulu, baru kemudian menyusul pembuatan dindingnya, kapal/perahu phinisi memiliki keunikan tersendiri dalam pembuatannya, yaitu pembuatannya dimulai dengan pembuatan dinding kapal, baru setelah itu dilanjutkan dengan pembuatan rangka kapal.
Jenis kapal/perahunya pun macam-macam, yaitu kapal penumpang atau kargo yang disebut “Lamba/Lambo", phinisi modern yang sudah dilengkapi dengan mesin motor diesel sebagai penggerak utamanya. Lalu ada juga yang disebut “Palari”, yang ukurannya lebih kecil dari jenis Lamba. Selain perahu/kapal penumpang dan kargo, ada juga jenis yang lebih kecil, yaitu Perahu Pajala dan Perahu Jolloro, yaitu perahu nelayan yang digunakan untuk menangkap ikan, disamping itu ada juga perahu tanpa lunas yang disebut Lepa-lepa, Soppe dan Jarangka. Ada juga kapal/perahu yang merupakan versi besarnya dari perahu/kapal phinisi terdahulu yang dikenal sebagai Perahu/Kapal Padewakang, yaitu perahu/kapal kuno pertama dimana dindingnya terdiri dari kepingan-kepingan papan yang tersusun, selanjut ada juga kapal/perahu kuno yang disebut Patorani
Perahu buatan masyarakat Tana Beru ini sangat banyak peminat dan pembelinya di Manca Negara, terutama dari negara Eropa, seperti Spanyol, Jerman, Perancis dan Belanda, juga dari Jepang, Amerika, Afrika, Kanada, Singapura dan Malaysia serta tentunya dari Indonesia. Saat berkunjung ke Tanah Beru, kalian bisa melihat beberapa orang asing terlihat wara-wiri di sana, bahkan mereka ada yang menetap sementara di Tana Beru, mengawasi pembuatan kapal/perahu yang mereka pesan.
Gambar terkait

Gambar terkaitPerahu Pinisi yang merupakan perahu tradisional masyarakat Bugis Makassar. Perahu ini sudah ada sejak zaman nenek moyang orang Indonesia. Perahu inilah yang membuktikan Indonesia dahulu adalah negara maritim yang besar dengan budaya pelaut dan pembuat kapal yang tangguh. Awalnya, perahu Pinisi pelaut Indonesia mengandalkan angin sebagai pendorong laju perahu. Karenanya, perahu Pinisi dahulu menggunakan layar pada bagian depan dan belakangnya.Seiring dengan makin berkembangnya peradaban, perahu Pinisi kini sudah ada yang menggunakan mesin motor diesel sebagai tenaga pendorongnya. Berbeda dengan ukuran asli, perahu Pinisi yang sudah menggunakan mesin motor berukuran lebih besar, dengan ukuran panjang sekitar 20 meter dan mampu menampung beban hingga 30 ton. Satu perahu tersebut dikerjakan oleh lebih dari sepuluh orang dan pengerjaannya bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan.Secara garis besar, terdapat tiga bagian dalam perahu Pinisi, yaitu bagian atas, bagian utama, dan bagian belakang. Sementara, bagian bawahnya dilapisi oleh fiber keras sehingga bisa menahan air. Yang menarik, walaupun pembuatan perahu Pinisi sudah terpengaruh modernisasi, ritual-ritual dalam pembuatan perahu masih terus dilakukan hingga saat ini.Ritual awal dalam pembuatan sebuah perahu Pinisi ditandai dengan seorang pawang perahu memotong bagian dasar pembuatan perahu yang biasa disebut dengan “lunas”. Kemudian, disediakan sesajen berupa makanan yang manis-manis dan memotong seekor ayam putih. Makanan yang manis merupakan simbol harapan agar perahu yang hendak dibuat akan mendatangkan hoki bagi pemiliknya, sementara darah yang ditempelkan pada “lunas” merupakan simbol agar tidak terjadi kecelakaan saat membuat perahu.Setelah selesai dikerjakan, biasanya perahu digunakan untuk pelayaran ekspedisi membawa barang-barang dagangan. Tapi kini, tak jarang orang yang sengaja membelinya sebagai perahu pesiar pribadi. Perahu Pinisi berukuran besar dengan tenaga mesin diesel dijual dengan harga yang  fantastis, bisa mencapai Rp2 miliar. Pembelian dilakukan dengan pemesanan terlebih dahulu. Orang yang membeli bisa menentukan model perahu beserta interior di dalamnya, tentu ini disesuaikan dengan anggaran yang sudah disepakati. Tapi yang menarik, ada ritual-ritual tertentu lagi yang harus dilakukan setelah perahu selesai dikerjakan. Setelah itu, perlu waktu sebulan untuk menggerek perahu dari bibir pantai menuju ke laut lepas. 



Sumber :



Komentar